Pendidikan yang Memudahkan
Oleh: Hamdan Juhannis
Orangtua anak didik
Dalam 10 tahun terakhir ini, kita gembor-gemborkan sistim pendidikan yang membangun karakter anak. Untuk apa pintar kalau anak tidak memiliki karakter kuat. Karakterlah yang membuat bangsa ini berdiri tegak. Seiring dengan munculnya wabah corona, pola pendidikan kita salah satu yang paling kena dampak, dan arah pendidikan karakter sepertinya harus ditengok ulang. Anak-anak sekolah semua harus dirumahkan. Pembelajaran sepenuhnya beralih menjadi online.
Anak-anak tidak perlu siap pagi-pagi dengan pakaian seragamnya beserta tas ranselnya. Anak beralih rutinitas, mengecek tugas apa yang harus dikerjakan dari gurunya, kegiatan yang harus dilakukan di rumah, dan PR apa yang harus dikumpulkan. Rutinitas baru inilah yang merubah pola pembelajaran anak, perubahan dari ruang kelas ke rumah, dari guru ke orang tua anak.
Sebagai orang tua yang memiliki dua anak yang kesemuanya masih bersekolah, saya merasakan dan melihat adanya beban baru yang tergolong berat yang muncul dengan situasi belajar dari rumah yang digalakkan sekarang ini. Mungkin saya lebih beruntung, guru dan sekolah tempat anak saya cerdas 'berdamai' dengan beragam situasi keterbatasan dan masukan orang tua, namun dari perbincangan saya dan 'screenshots' yang banyak beredar di medsos, saya membaca betapa beban orangtua yang harus ditanggung dengan suasana pandemi ini yang dasarnya memang sudah membikin stress.
Belajar dari rumah menjadikan sumber pembelajarannya sekarang lebih banyak bertumpu ke orangtua, lebih khusus mungkin, ibu dari anak. Yang perlu disadari dengan pendidikan modern sekarang ini adalah menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah untuk menuntaskan pendidikan anak-anak kita. Saya tidak mencoba menyalahkan tapi hanya menyampaikan realitas.
Akibatnya, tidak banyak orangtua yang siap menjadi guru di rumah. Mungkin juga termasuk yang sudah menjadi guru di sekolah. Situasi saat inilah yang memaksa orangtua bertindak sebagai guru dari anaknya, karena pembelajaran online tidak bisa mengakomodir semua instruksi guru.
Penugasan yang sebelumnya cenderung dihilangkan oleh sekolah, sekarang justeru interaksi guru-murid lebih bertumpu pada penugasan. Orangtua dengan segala keterbataan pengetahuan dan keterampilan mengajarnya menjadi sepenuhnya terlibat.
Lalu apa yang terjadi hari ini? Banyaknya plesetan anak-anak yang merindukan sekolahnya karena capek diajar oleh orangtuanya. Itu bukan pelesetan tapi itulah yang sejatinya terjadi. Anak menjadi stress karena tertekan diajar orangtua. Tapi jangan lupa, orangtua berkali lipat merasakan stress, sudah stress dengan keterbatasan karena pandemi, ditambah lagi dengan beban baru sebagai guru dadakan.
Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi situasi pembelajaran yang kalau dibiarkan akan semakin menyimpang dari rel cita-cita pendidikan karakter? Mari secara bergotong royong melakukan langkah nyata untuk mengatasi persoalan ini. Namun pada coretan ini, saya hanya ingin melakukan penekanan terlebih dahulu pada upaya nyata pihak sekolah.
Pertama, pihak sekolah saatnya menjunjung tinggi prinsip pendidikan yang memudahkan. Dalam situasi seperti ini semua langkah pembelajaran harus memudahkan. Guru sebagai representasi sekolah saatnya menerjemahkan kurikulum yang menggunakan prinsip yang tidak memberatkan. Guru tidak perlu memberi tugas kepada murid yang harus menyetor video dengan alat yang tidak ada di rumah. Bahkan kalau tidak terlalu penting, murid tidak perlu menyetor tugas. Masih ingat pembelajaran 'kantin kejujuran' yang tidak maksimal hasilnya? Sekarang saatnya menggantinya dengan 'tugas kejujuran'. Dengan ini kita bisa melatih karakter 'trust' anak-anak kita.
Kedua, guru sebaiknya memudahkan model pembelajaran online kepada anak didiknya. Guru bisa menggunakan cara-cara sederhana untuk mengajar anak didiknya, dan tidak perlu selalu bertumpu pada penugasan. Ajakan shalat jamaah, ajakan membantu ibu di dapur, ajakan menyapu, belajar bahasa lokal, atau apa saja yang tidak memberatkan orangtua. Cara pembelajaran terbaik sekarang adalah yang membikin rumah happy dan penuh keceriahan. Tidak semua orangtua memiliki kemampuan IT yang bagus. Kita tidak ingin lagi mendengar ciutan di sebuah medsos: 'kalau saya pintar mengajar, saya sudah menjadi kepala sekolah anda."
Ketiga, sekolah sejatinya menyadari bahwa dengan situasi wabah ini, arah pendidikan kita harus berubah. Wabah ini memberi tugas baru kepada pendidikan bahwa saatnya ajaran 'rumahku surgaku' diterjemahkan kepada pola pendidikan untuk membuatnya nyata bagi anak-anak kita. Artinya, wabah ini membuat kita tidak perlu lagi terpaku pada tujuan sekolah yang sudah dicanangkan, misalnya untuk meluluskan murid dengan nilai tertinggi. Wabah ini sejatinya memberi pelajaran bahwa tujuan pendidikan kita yang utama adalah menghasilkan produk yang tangguh dalam berbagai situasi dan perubahan apa saja. Sekolah sudah harus mengajarkan anak untuk siap susah dalam kehidupan nyata. Sekolah tidak bisa lagi sebatas mengajarkan mimpi-mimpi masa depan yang hanya bertumpu pada materialisme.
Keempat, sekolah khususnya sekolah berbayar harus ikut berkontribusi langsung pada upaya peningkatan imunitas warganya. Sekolah harus membangun kesadaran bersama bahwa sekarang bukan lagi 'jaman now' tapi 'jaman stress'. Dengan memberi penekanan kepada guru-gurunya untuk menerapkan prinsip memudahkan, itu satu kontribusi. Namun ada yang lebih penting, banyak orangtua murid yang mengalami masalah finansial dengan pandemi ini. Saya beruntung sebagai pegawai negeri yang memiliki gaji bulanan, namun bagaimana sebagian besar yang lain yang mengandalkan usaha swasta? Situasi pandemi ini memaksa roda ekonomi tersendat dan cenderung berhenti pada hampir semua sektor.
Saya tidak akan terkejut kalau sekiranya ada sekolah memutuskan untuk memotong 50 persen pembayarannya. Saya juga tidak akan terkejut kalau ada sekolah memberi keringanan pembayaran dengan dengan memberi kesempatan orangtua untuk mencicilnya selama masa pandemi.
Saatnya empati sekolah diperlukan pada situasi seperti ini sekaligus juga untuk membuktikan bahwa sekolah memang menjadi tempat terbaik untuk membangun harapan termasuk harapan orangtua, tidak lebih dari itu, karena anak-anaknya yang akan menikmatinya. Kita semua orangtua dan kita semua punya anak-anak.